Minggu, 06 Maret 2016

"WHO THE FUCK IS LIVI ZHENG?"

Maafkan judul tulisan yang terdengar kasar, tapi memang kalimat itu yang pertama terlintas di pikiran saya (dan para penikmat film lain) tatkala berita mengenai Livi Zheng dan kesuksesan karirnya di Hollywood sempat menghebohkan media tanah air beberapa waktu lalu. Karena sungguh, "who the fuck is Livi Zheng???" Artikel ini bukan bermaksud mengungkit kembali kisah masa lalu, namun dipicu oleh pernyataan seorang teman bahwa beberapa rekannya masih percaya akan kesuksesan Livi Zheng. Tidak ada pula niat merendahkan prestasi seseorang. Saya hanya sekedar menuturkan fakta beserta sedikit opini. 

Livi Zheng lahir di Blitar pada 3 April 1989. Pada usia 15 tahun ia dan adiknya, Ken Zheng pindah ke Beijing, lalu ke Amerika Serikat tiga tahun kemudian. Semasa tinggal di US, Livi sempat mengikuti (bahkan memenangkan) berbagai kejuaraan karate tingkat nasional. Karirnya di dunia seni peran dimulai sebagai stunt pada serial Laksamana Cheng Ho yang menampilkan Yuzril Ihza Mahendra sebagai titular character dan sempat tayang di Metro TV tahun 2008. Kolaborasinya bersama Yuzril berlanjut lewat film tentang kerajaan Majapahit berjudul The Empire's Throne (rilis 2013) yang turut dibintangi Slamet Rahardjo, Betharia Sonata dan Nurul Arifin. Saat itu Livi bertindak sebagai salah satu produser dan aktris. 
Sampai di sini sesungguhnya prestasi Livi sudah cukup mengesankan, namun atensi masyarakat (baca: media) Indonesia baru tergaet pada medio 2014-2015, berkat berita mengenai kesuksesan debut penyutradaraannya, Brush with Danger. Berbagai headline mengenai kesuksesan anak bangsa membuat film di Hollywood pun terus bergaung. Tapi yang membuat saya mengernyitkan dahi adalah kabar bahwa film tersebut sukses meraih nominasi Oscars. Banyak pihak percaya, kemudian memuja Livi, menyematkan status "anak bangsa membanggakan" sekaligus sumber inspirasi. Sekali lagi saya berujar "What the fuck?!"

Tidak perlu berpanjang lebar, saya nyatakan bahwa BRUSH WITH DANGER TIDAK MENDAPAT NOMINASI OSCARS APAPUN! Catat ini! Sebagai film rilisan tahun 2014, apabila mendapat nominasi, maka Brush with Danger akan terpampang namanya di daftar nominee Oscars tahun 2015. Tapi silahkan cek di manapun anda tidak akan menemukannya. Sebagai tambahan, media menyatakan film garapan Livi Zheng tersebut masuk sebagai salah satu nominasi film terbaik. Sekali lagi saya berujar "What the fuck?!"
Kebenarannya adalah, "Brush with Danger lolos kualifikasi untuk bisa mendaftarkan diri di Oscars". Sebelum anda berkata "loh, bisa lolos buat daftar udah spesial dong?", coba perhatikan persayaratan pendaftaran di bawah ini:
1. Berupa film panjang (minimal durasi 40 menit)
2. Film harus sudah diputar tujuh hari berturut-turut di Los Angeles
3. Tujuh hari itu harus berasal dari tahun sebelum penyelenggaraan Oscars
4. Film tidak boleh tayang di format selain bioskop (DVD, TV, Legal Streaming) sebelum penayangan di Los Angeles.
5. Boleh rilis di bioskop kota lain sebelum L.A.
6. Boleh dirilis di format selain bioskop asal merupakan produksi luar Amerika Serikat.
7. Boleh dirilis dulu di Festival Film.
8. Harus menyertakan subtitle apabila memakai selain Bahasa Inggris.
9. Memenuhi beberapa kriteria minimum untuk kualitas gambar dan suara.
10. Nama pendaftar dicantumkan sebagai "Produser"
11. Maksimal hanya tiga nama Produser dapat disertakan.
12. Boleh lebih dari tiga nama dalam jenis partnership tertentu.

Begitulah persayaratan yang berhasil dipenuhi oleh Brush with Danger, yang mana lebih ke arah administratif, sama sekali tidak bersinggungan dengan kualitas. Ibaratnya kita ikut perlombaan dan baru berhasil memenuhi syarat loma tersebut, belum berkompetisi, apalagi menang. Maka alangkah keliru saat banyak pihat menyematkan suatu film sebagai "berkualitas" karena lolos persayaratan di atas. FYI, termasuk Brush with Danger ada 323 film berhasil melewati kualifikasi dan resmi mendaftarkan diri. Bahkan film-film (busuk) Adam Sandler juga termasuk di dalamnya. Sehingga saat Brush with Danger dianggap berkualitas hanya karena lolos pendaftaran, saya hanya bisa berujar "What the fuck?"
Tapi bukankah membuat film di Amerika termasuk pencapaian? Tentu, tapi pencapaian personal. Livi boleh berbangga diri mampu membuat film panjang di Hollywood (meski sesungguhnya jika anda berdomisili di Amerika Serikat hal tersebut tidak sebegitu membanggakan). Tapi dianggap prestasi bagi negara? Tunggu dulu. Contohnya begini. Review saya sering dibaca, mendapat feedback dan dibagikan oleh tokoh-tokoh industri film (Joko Anwar, Ismail Basbeth, Ernest Prakarsa, dll). Tentu saya senang dan kebahagiaan itu sah-sah saja. Tapi apa pantas saya menganggap itu sebagai prestasi tingkat universitas? Mau ditaruh di mana muka jika berhadapan dengan para pemenang olimpiade tingkat internasional? Bisa-bisa mereka semua berujar, "What the fuck?"

Bahkan saya tetap akan memiliki respect pada Livi jika sedari awal ia secara lantang membantah pemberitaan tersebut, karena seperti yang kita semua tahu, media Indonesia memang kebanyakan bodoh dan terlampau malas melakukan riset. Tapi Livi justru senang-senang saja menikmati hegemoni puja-puji masyarakat akan pencapaiannya. Baru ketika banyak mendapat cemoohan, ia secara singkat mengklarifikasi, berkata "saya tidak pernah berkata film saya menang Oscars". Tidakkah Livi pernah mendengar istilah "diam berarti setuju?" Saya pun kembali berujar "What the Fuck?
Apa saya menonton Brush with Danger pada pemutarannya tahun lalu? Hell no. Angka 20% dengan rerata nilai 3/10 di Rotten Tomatoes sudah membunuh nafsu menonton, ditambah lagi berbagai pemberitaan di atas. Tambah memalukan lagi saat kritikus Simon Abrams dari Village Voice menyebutnya sebagai "Inexplicably racist Indonesian Action Film". Daripada membanggakan, rasanya itu justru membuat malu nama bangsa. Saya pun kembali berujar, "What the Fuck?"

Poin utama dari kasus Livi Zheng ini adalah, cek kembali setiap berita yang kita dengar. Jangan asal percaya apalagi dengan mudah menyebarkannya di media sosial. Karena saya ingat, kehebohan semua ini diawali oleh penyebaran link di berbagai media sosial khususnya Facebook. Pahami tentang tema suatu berita, kalau perlu tanyakan pada orang yang anda anggap memang "ahli" dalam bidang tersebut. Kesuksesan Livi sebagai selebritas (sementara) tanah air adalah bukti kolaborasi kebodohan media dan masyarakat yang malas untuk belajar secara mendalam, sehingga banyak menimbulkan respon "WHAT THE FUCK??!!!"

Kalau ada yang bertanya "kalau nggak dinominasikan gimana bisa Livi dan Ken foto di red carpet Oscars?" Perhatikan lagi, Dolby Theatre (venue Oscars) itu luas, dan tempat mereka foto bukan entrance-nya. Lagipula kalau benar diundang kenapa tidak ada foto di dalam ketika acara berlangsung? What the fuck?!