Pernah pada sebuah
kesempatan saya terlibat pembicaraan dengan seorang kawan. Rencananya kita akan membuat sebuah film dengan konten
kekerasan yang tinggi. Dia tahu bahwa salah satu kegemaran saya adalah
sajian penuh kekerasan dengan berliter-liter galon darah menjadi bagian
esensial. Tidak hanya tahu, dia bahkan memberikan dukungan, dimana salah satu
bentuknya adalah bersedia untuk terlibat dalam proses tersebut. Kemudian
hadir pementasan “Keluarga Bahagia”, dan kawan saya tersebut memberikan kritik tentang keberadaan konten seksual yang
(katanya) tinggi dalam naskah tulisan saya itu. Kekhawatiran mulai dari aspek
seksual yang dianggap tidak substansial, hingga merasa pementasan tersebut
hanya akan berujung sebagai tontonan porno diutarakan. Respon pertama saya
adalah bingung, “kenapa orang yang bisa menerima sajian kekerasan eksplisit
justru gerah dengan seksualitas vulgar?” Apakah artinya kekerasan jauh lebih
bisa diterima daripada seks? Mungkin begitu. Sebagai contoh adalah The Raid. Film itu mendapat puja puji
masyarakat karena kekerasan yang ditampilkan, tapi coba ganti sisi brutal
tersebut dengan seks. Apakah respon positif juga yang akan muncul?
Ganti darah dengan cairan lain berwarna putih, apakah respon sama? |
Berkaca pada “Keluarga
Bahagia”, banyak pihak beranggapan adegan seks bisa dikemas lebih implisit atau
bahasa mereka “lebih artistik”. Kata “artistik” khususnya di Indonesia
pengertiannya bisa begitu buram. Seringkali demi membuat suatu karya
yang artistik, sang maker melupakan
substansi dan lebih mementingkan gaya, istilahnya style over substance. Entah sudah berapa banyak karya visual
(khususnya film) yang mengorbankan kekuatan penceritaan hanya demi berfokus
menyajikan gambar-gambar indah. Tengok saja 5 cm dengan segala keindahan panorama alam tapi ceritanya busuk.
Atau kalau berkaca pada Hollywood silahkan lihat romansa adaptasi novel
Nicholas Sparks yang sinematografinya top-notch tapi ceritanya seperti dibuat oleh anak SMP galau yang setiap hari
menulis puisi untuk wanita idamannya tapi tidak pernah punya keberanian untuk
mendekati--maksimal hanya masturbasi.
"Dear John"; gambar indah, cerita payah |
Intinya adalah
substansi. Adegan seks eksplisit selama delapan menit di Blue is the Warmest Color bukan alat pemancing gairah seksual penonton,
tapi berguna sebagai alat observasi karakter. Kita diajak melihat bagaimana
hasrat yang timbul dalam hubungan dua karakter utamanya, bagaimana pula passion dalam percintaan wanita muda
yang nafsunya terus dipendam. Untuk kesan romantisme serupa silahkan tunggu A Copy of My Mind-nya Joko Anwar yang
bakal menampilkan Tara Basro dan Chico Jerikho berhubungan seks, lengkap dengan
sperma keluar dari pal-kon sang
aktor. Joko Anwar hanya pamer gaya? Bisa, tapi itu sama saja Nikita Mirzani
adalah seorang guru ngaji. Mungkin? Ya mungkin, tapi hampir mustahil. Lalu apa
substansi “Keluarga Bahagia” sehingga diisi beberapa adegan seks yang (katanya)
vulgar?
Silahkan tunggu yang satu ini |
Bayangkan semua itu dikemas secara simbolik, mungkin penonton akan
bergumam “oh indahnya..!”, tapi apakah mereka tertohok oleh realita yang
dipaparkan? Bisa saja, tapi tidak sebesar itu.
Keindahan bertutur juga bisa
merusak esensi rasa yang coba dibangun. Rasa bahwa tidak seindah itu konflik
yang tengah disajikan. Menyajikan konflik raw secara indah bagi saya sama saja membuat kisah tentang Ir. Soekarno sang proklamator yang
penuh semangat tapi dikemas secara mellow.
Tidak selaras. Itu salah satu alasan kenapa sineas asal Denmark, Lars von Trier memunculkan gerakan Dogma 95 yang berisikan film-film dengan production value rendah cenderung amatiran (mayoritas diambil dengan Canon 550D). Film-film tersebut (ex: Festen, The Idiots) ceritanya banyak "menelanjangi" kehidupan sehari-hari secara kasar dan apa adanya. Lars von Trier percaya metode tersebut lebih kuat untuk mengikat penonton karena mereka tidak terdistraksi oleh production value yang tinggi, sehingga hanya berfokus pada cerita serta karakter.
"The Idiots" |
Banyak pula yang
beranggapan “Keluarga Bahagia” tidak berbeda dengan porno. Lagi-lagi saya
bingung, kali ini dengan pengertian porno. Semua pernah menonton film porno,
tapi apakah ada yang konten seksualnya tidak sampai 25%? Bahkan Nymphomaniac dengan presentase adegan
seks tidak sampai 40% saja bukanlah sebuah porno. Kata porn merujuk pada dominasi suatu aspek yang dieksploitasi dalam
suatu karya. Sebagai contoh, Saw itu
disebut torture-porn dan Chef adalah food-porn. Bahkan untuk masuk ranah genre “eksploitasi” pun
pementasan ini tidak bisa digolongkan pada sexploitation
(Nymphomaniac saja belum masuk
kategori ini). Entah itu porn maupun exploitation baru bisa disematkan pada
sebuah sajian yang didominasi secara berlebih oleh suatu aspek. Bisa saja
“Keluarga Bahagia’ masuk dalam sexploitation,
tapi lebih merujuk pada kentalnya unsur disorientasi seksual, bukannya
pemaparan adegan seks yang vulgar. Sebagai perbandingan silahkan tonton
drama-thriller asal Prancis berjudul Stranger
by the Lake, salah satu film dengan
penyajian seksual paling vulgar yang pernah saya tonton, dimana itu juga belum
masuk kategori pornografi.
Percayalah ini BUKAN PORNO |
Artikel ini bukan bermaksud
memberikan pembelaan bahwa naskah tersebut adalah naskah yang bagus. Tentu
banyak kekurangan, dan perkara suka atau tidak itu sudah terserah masing-masing
penonton. Jika ada yang berkomentar tentang struktur plot, karakterisasi atau
dialog, saya pun merasakan kekurangan serupa. Apa yang saya garis bawahi dalam
tulisan ini adalah bagaimana banyak pihak memberikan “cap” yang sama sekali
tidak akurat. Hal yang sama sebenarnya juga berlaku untuk kasus “realis atau
surealis” di 'Romantika dalam Gelap' dua tahun lalu, tapi pembahasan tentang
itu rasanya sudah kadaluarsa.
Sedangkan bagi kalian semua yang ingin berkarya
khususnya dalam penulisan, tidak perlulah takut akan tanggapan miring jika ada
esensi kuat yang coba dituturkan. Asal kalian
merasa adanya keterikatan/setuju terhadap sesuatu yang coba diangkat, sah-sah
saja. Masih begitu banyak aspek kehidupan di luar sana yang belum sempat
tergali karena dianggap tidak layak oleh masyarakat luas.
(Rasyid R. Harry)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar