Sabtu, 08 April 2017

Malam dan Perjamuan Makan Malam


lalu malam memakanku pelan-pelan
di antara perjamuannya yang mewah
di antara perjamuannya yang megah

dan malam melumatku bulat-bulat
di dalam perhelatannya yang kelam
di dalam perhelatannya yang kejam

sehingga malam menguntalku kental-kental
di bawah perayaannya yang sepat
di bawah perayaannya yang sesat

maka aku tenggelam dalam-dalam
di malam dan perjamuannya yang lengang

eF_A, Juli 2017

Minggu, 06 Maret 2016

"WHO THE FUCK IS LIVI ZHENG?"

Maafkan judul tulisan yang terdengar kasar, tapi memang kalimat itu yang pertama terlintas di pikiran saya (dan para penikmat film lain) tatkala berita mengenai Livi Zheng dan kesuksesan karirnya di Hollywood sempat menghebohkan media tanah air beberapa waktu lalu. Karena sungguh, "who the fuck is Livi Zheng???" Artikel ini bukan bermaksud mengungkit kembali kisah masa lalu, namun dipicu oleh pernyataan seorang teman bahwa beberapa rekannya masih percaya akan kesuksesan Livi Zheng. Tidak ada pula niat merendahkan prestasi seseorang. Saya hanya sekedar menuturkan fakta beserta sedikit opini. 

Livi Zheng lahir di Blitar pada 3 April 1989. Pada usia 15 tahun ia dan adiknya, Ken Zheng pindah ke Beijing, lalu ke Amerika Serikat tiga tahun kemudian. Semasa tinggal di US, Livi sempat mengikuti (bahkan memenangkan) berbagai kejuaraan karate tingkat nasional. Karirnya di dunia seni peran dimulai sebagai stunt pada serial Laksamana Cheng Ho yang menampilkan Yuzril Ihza Mahendra sebagai titular character dan sempat tayang di Metro TV tahun 2008. Kolaborasinya bersama Yuzril berlanjut lewat film tentang kerajaan Majapahit berjudul The Empire's Throne (rilis 2013) yang turut dibintangi Slamet Rahardjo, Betharia Sonata dan Nurul Arifin. Saat itu Livi bertindak sebagai salah satu produser dan aktris. 
Sampai di sini sesungguhnya prestasi Livi sudah cukup mengesankan, namun atensi masyarakat (baca: media) Indonesia baru tergaet pada medio 2014-2015, berkat berita mengenai kesuksesan debut penyutradaraannya, Brush with Danger. Berbagai headline mengenai kesuksesan anak bangsa membuat film di Hollywood pun terus bergaung. Tapi yang membuat saya mengernyitkan dahi adalah kabar bahwa film tersebut sukses meraih nominasi Oscars. Banyak pihak percaya, kemudian memuja Livi, menyematkan status "anak bangsa membanggakan" sekaligus sumber inspirasi. Sekali lagi saya berujar "What the fuck?!"

Tidak perlu berpanjang lebar, saya nyatakan bahwa BRUSH WITH DANGER TIDAK MENDAPAT NOMINASI OSCARS APAPUN! Catat ini! Sebagai film rilisan tahun 2014, apabila mendapat nominasi, maka Brush with Danger akan terpampang namanya di daftar nominee Oscars tahun 2015. Tapi silahkan cek di manapun anda tidak akan menemukannya. Sebagai tambahan, media menyatakan film garapan Livi Zheng tersebut masuk sebagai salah satu nominasi film terbaik. Sekali lagi saya berujar "What the fuck?!"
Kebenarannya adalah, "Brush with Danger lolos kualifikasi untuk bisa mendaftarkan diri di Oscars". Sebelum anda berkata "loh, bisa lolos buat daftar udah spesial dong?", coba perhatikan persayaratan pendaftaran di bawah ini:
1. Berupa film panjang (minimal durasi 40 menit)
2. Film harus sudah diputar tujuh hari berturut-turut di Los Angeles
3. Tujuh hari itu harus berasal dari tahun sebelum penyelenggaraan Oscars
4. Film tidak boleh tayang di format selain bioskop (DVD, TV, Legal Streaming) sebelum penayangan di Los Angeles.
5. Boleh rilis di bioskop kota lain sebelum L.A.
6. Boleh dirilis di format selain bioskop asal merupakan produksi luar Amerika Serikat.
7. Boleh dirilis dulu di Festival Film.
8. Harus menyertakan subtitle apabila memakai selain Bahasa Inggris.
9. Memenuhi beberapa kriteria minimum untuk kualitas gambar dan suara.
10. Nama pendaftar dicantumkan sebagai "Produser"
11. Maksimal hanya tiga nama Produser dapat disertakan.
12. Boleh lebih dari tiga nama dalam jenis partnership tertentu.

Begitulah persayaratan yang berhasil dipenuhi oleh Brush with Danger, yang mana lebih ke arah administratif, sama sekali tidak bersinggungan dengan kualitas. Ibaratnya kita ikut perlombaan dan baru berhasil memenuhi syarat loma tersebut, belum berkompetisi, apalagi menang. Maka alangkah keliru saat banyak pihat menyematkan suatu film sebagai "berkualitas" karena lolos persayaratan di atas. FYI, termasuk Brush with Danger ada 323 film berhasil melewati kualifikasi dan resmi mendaftarkan diri. Bahkan film-film (busuk) Adam Sandler juga termasuk di dalamnya. Sehingga saat Brush with Danger dianggap berkualitas hanya karena lolos pendaftaran, saya hanya bisa berujar "What the fuck?"
Tapi bukankah membuat film di Amerika termasuk pencapaian? Tentu, tapi pencapaian personal. Livi boleh berbangga diri mampu membuat film panjang di Hollywood (meski sesungguhnya jika anda berdomisili di Amerika Serikat hal tersebut tidak sebegitu membanggakan). Tapi dianggap prestasi bagi negara? Tunggu dulu. Contohnya begini. Review saya sering dibaca, mendapat feedback dan dibagikan oleh tokoh-tokoh industri film (Joko Anwar, Ismail Basbeth, Ernest Prakarsa, dll). Tentu saya senang dan kebahagiaan itu sah-sah saja. Tapi apa pantas saya menganggap itu sebagai prestasi tingkat universitas? Mau ditaruh di mana muka jika berhadapan dengan para pemenang olimpiade tingkat internasional? Bisa-bisa mereka semua berujar, "What the fuck?"

Bahkan saya tetap akan memiliki respect pada Livi jika sedari awal ia secara lantang membantah pemberitaan tersebut, karena seperti yang kita semua tahu, media Indonesia memang kebanyakan bodoh dan terlampau malas melakukan riset. Tapi Livi justru senang-senang saja menikmati hegemoni puja-puji masyarakat akan pencapaiannya. Baru ketika banyak mendapat cemoohan, ia secara singkat mengklarifikasi, berkata "saya tidak pernah berkata film saya menang Oscars". Tidakkah Livi pernah mendengar istilah "diam berarti setuju?" Saya pun kembali berujar "What the Fuck?
Apa saya menonton Brush with Danger pada pemutarannya tahun lalu? Hell no. Angka 20% dengan rerata nilai 3/10 di Rotten Tomatoes sudah membunuh nafsu menonton, ditambah lagi berbagai pemberitaan di atas. Tambah memalukan lagi saat kritikus Simon Abrams dari Village Voice menyebutnya sebagai "Inexplicably racist Indonesian Action Film". Daripada membanggakan, rasanya itu justru membuat malu nama bangsa. Saya pun kembali berujar, "What the Fuck?"

Poin utama dari kasus Livi Zheng ini adalah, cek kembali setiap berita yang kita dengar. Jangan asal percaya apalagi dengan mudah menyebarkannya di media sosial. Karena saya ingat, kehebohan semua ini diawali oleh penyebaran link di berbagai media sosial khususnya Facebook. Pahami tentang tema suatu berita, kalau perlu tanyakan pada orang yang anda anggap memang "ahli" dalam bidang tersebut. Kesuksesan Livi sebagai selebritas (sementara) tanah air adalah bukti kolaborasi kebodohan media dan masyarakat yang malas untuk belajar secara mendalam, sehingga banyak menimbulkan respon "WHAT THE FUCK??!!!"

Kalau ada yang bertanya "kalau nggak dinominasikan gimana bisa Livi dan Ken foto di red carpet Oscars?" Perhatikan lagi, Dolby Theatre (venue Oscars) itu luas, dan tempat mereka foto bukan entrance-nya. Lagipula kalau benar diundang kenapa tidak ada foto di dalam ketika acara berlangsung? What the fuck?!

Jumat, 19 Juni 2015

Kinarya Citra Leka


Bagi saya, ini termasuk penampilan musik paling memuaskan selama saya berproses di KRST. Waktu itu tawaran datang dari teman-teman Fisipol UGM jurusan Hub. Internasional selaku penyelenggara. Kami diberi ketentuan untuk membawakan lagu mancanegara.

Band dadakan ini dihiasi oleh saya (gitar/kibord), Aga (gitar), Debby (bass), Putra (perkusi), dan Dennis (vokal). Pilihan lagu kami jatuh kepada 'Volare' oleh Gypsy Kings dan 'Let's Do It (Let's Fall in Love)' oleh Canal Fowkes.

Tidak puas dengan hanya bermain musik, kami sepakat bahwa kami ingin tampil beda. Maka pada H-1, Aga Dennis dan Putra bertandang ke Pasar Beringharjo dan membelikan kami berlima baju barong dengan warna yang berbeda-beda. Alhasil, the crowd loves us!

Acara diadakan di selasar GOR Klebengan, dan kami mendapat urutan tampil pas sebelum bintang tamu, yet the crowd loves us more. Video-nya bisa anda cek disini:


Mucho gracias!


Kamis, 18 Juni 2015

Seksualitas dalam "Keluarga Bahagia"


Pernah pada sebuah kesempatan saya terlibat pembicaraan dengan seorang kawan. Rencananya kita akan membuat sebuah film dengan konten kekerasan yang tinggi. Dia tahu bahwa salah satu kegemaran saya adalah sajian penuh kekerasan dengan berliter-liter galon darah menjadi bagian esensial. Tidak hanya tahu, dia bahkan memberikan dukungan, dimana salah satu bentuknya adalah bersedia untuk terlibat dalam proses tersebut. Kemudian hadir pementasan “Keluarga Bahagia”, dan kawan saya tersebut memberikan kritik tentang keberadaan konten seksual yang (katanya) tinggi dalam naskah tulisan saya itu. Kekhawatiran mulai dari aspek seksual yang dianggap tidak substansial, hingga merasa pementasan tersebut hanya akan berujung sebagai tontonan porno diutarakan. Respon pertama saya adalah bingung, “kenapa orang yang bisa menerima sajian kekerasan eksplisit justru gerah dengan seksualitas vulgar?” Apakah artinya kekerasan jauh lebih bisa diterima daripada seks? Mungkin begitu. Sebagai contoh adalah The Raid. Film itu mendapat puja puji masyarakat karena kekerasan yang ditampilkan, tapi coba ganti sisi brutal tersebut dengan seks. Apakah respon positif juga yang akan muncul?

Ganti darah dengan cairan lain berwarna putih, apakah respon sama?
Berkaca pada “Keluarga Bahagia”, banyak pihak beranggapan adegan seks bisa dikemas lebih implisit atau bahasa mereka “lebih artistik”. Kata “artistik” khususnya di Indonesia pengertiannya bisa begitu buram. Seringkali demi membuat suatu karya yang artistik, sang maker melupakan substansi dan lebih mementingkan gaya, istilahnya style over substance. Entah sudah berapa banyak karya visual (khususnya film) yang mengorbankan kekuatan penceritaan hanya demi berfokus menyajikan gambar-gambar indah. Tengok saja 5 cm dengan segala keindahan panorama alam tapi ceritanya busuk. Atau kalau berkaca pada Hollywood silahkan lihat romansa adaptasi novel Nicholas Sparks yang sinematografinya top-notch tapi ceritanya seperti dibuat oleh anak SMP galau yang setiap hari menulis puisi untuk wanita idamannya tapi tidak pernah punya keberanian untuk mendekati--maksimal hanya masturbasi.

"Dear John"; gambar indah, cerita payah
Intinya adalah substansi. Adegan seks eksplisit selama delapan menit di Blue is the Warmest Color bukan alat pemancing gairah seksual penonton, tapi berguna sebagai alat observasi karakter. Kita diajak melihat bagaimana hasrat yang timbul dalam hubungan dua karakter utamanya, bagaimana pula passion dalam percintaan wanita muda yang nafsunya terus dipendam. Untuk kesan romantisme serupa silahkan tunggu A Copy of My Mind-nya Joko Anwar yang bakal menampilkan Tara Basro dan Chico Jerikho berhubungan seks, lengkap dengan sperma keluar dari pal-kon sang aktor. Joko Anwar hanya pamer gaya? Bisa, tapi itu sama saja Nikita Mirzani adalah seorang guru ngaji. Mungkin? Ya mungkin, tapi hampir mustahil. Lalu apa substansi “Keluarga Bahagia” sehingga diisi beberapa adegan seks yang (katanya) vulgar? 

Silahkan tunggu yang satu ini
Bayangkan semua itu dikemas secara simbolik, mungkin penonton akan bergumam “oh indahnya..!”, tapi apakah mereka tertohok oleh realita yang dipaparkan? Bisa saja, tapi tidak sebesar itu. 

Keindahan bertutur juga bisa merusak esensi rasa yang coba dibangun. Rasa bahwa tidak seindah itu konflik yang tengah disajikan. Menyajikan konflik raw secara indah bagi saya sama saja membuat kisah tentang Ir. Soekarno sang proklamator yang penuh semangat tapi dikemas secara mellow. Tidak selaras. Itu salah satu alasan kenapa sineas asal Denmark, Lars von Trier memunculkan gerakan Dogma 95 yang berisikan film-film dengan production value rendah cenderung amatiran (mayoritas diambil dengan Canon 550D). Film-film tersebut (ex: Festen, The Idiots) ceritanya banyak "menelanjangi" kehidupan sehari-hari secara kasar dan apa adanya. Lars von Trier percaya metode tersebut lebih kuat untuk mengikat penonton karena mereka tidak terdistraksi oleh production value yang tinggi, sehingga hanya berfokus pada cerita serta karakter.

"The Idiots"
Banyak pula yang beranggapan “Keluarga Bahagia” tidak berbeda dengan porno. Lagi-lagi saya bingung, kali ini dengan pengertian porno. Semua pernah menonton film porno, tapi apakah ada yang konten seksualnya tidak sampai 25%? Bahkan Nymphomaniac dengan presentase adegan seks tidak sampai 40% saja bukanlah sebuah porno. Kata porn merujuk pada dominasi suatu aspek yang dieksploitasi dalam suatu karya. Sebagai contoh, Saw itu disebut torture-porn dan Chef adalah food-porn. Bahkan untuk masuk ranah genre “eksploitasi” pun pementasan ini tidak bisa digolongkan pada sexploitation (Nymphomaniac saja belum masuk kategori ini). Entah itu porn maupun exploitation baru bisa disematkan pada sebuah sajian yang didominasi secara berlebih oleh suatu aspek. Bisa saja “Keluarga Bahagia’ masuk dalam sexploitation, tapi lebih merujuk pada kentalnya unsur disorientasi seksual, bukannya pemaparan adegan seks yang vulgar. Sebagai perbandingan silahkan tonton drama-thriller asal Prancis berjudul Stranger by the Lake,  salah satu film dengan penyajian seksual paling vulgar yang pernah saya tonton, dimana itu juga belum masuk kategori pornografi.

Percayalah ini BUKAN PORNO
Artikel ini bukan bermaksud memberikan pembelaan bahwa naskah tersebut adalah naskah yang bagus. Tentu banyak kekurangan, dan perkara suka atau tidak itu sudah terserah masing-masing penonton. Jika ada yang berkomentar tentang struktur plot, karakterisasi atau dialog, saya pun merasakan kekurangan serupa. Apa yang saya garis bawahi dalam tulisan ini adalah bagaimana banyak pihak memberikan “cap” yang sama sekali tidak akurat. Hal yang sama sebenarnya juga berlaku untuk kasus “realis atau surealis” di 'Romantika dalam Gelap' dua tahun lalu, tapi pembahasan tentang itu rasanya sudah kadaluarsa. 

Sedangkan bagi kalian semua yang ingin berkarya khususnya dalam penulisan, tidak perlulah takut akan tanggapan miring jika ada esensi kuat yang coba dituturkan. Asal kalian merasa adanya keterikatan/setuju terhadap sesuatu yang coba diangkat, sah-sah saja. Masih begitu banyak aspek kehidupan di luar sana yang belum sempat tergali karena dianggap tidak layak oleh masyarakat luas. 

(Rasyid R. Harry)

Rabu, 17 Juni 2015

Mengulas Proses: Pentas Besar 'Keluarga Bahagia'


Pentas Besar KRST tahun 2015 ini mengusung naskah garapan Rasyid Harry dengan lakon “Keluarga Bahagia”. Naskah hasil buah pikir Rasyid dan Iqbal—sebagai sutradara—ini berisi tentang kehidupan sebuah keluarga seperti pada umumnya. Hanya saja, dalam cerita ini, Rasyid mengambil sudut pandang lain dari makna sebuah keluarga. Sebuah keluarga dengan masalah yang mungkin sebenarnya dimiliki oleh beberapa keluarga pada umumnya, namun tidak diutarakan ke publik karena alasan moral dan norma. Yah, begitulah sekiranya salah satu bagian dari informasi yang ingin KRST sampaikan pada penonton melalui pementasan pada hari sabtu, 6 juni 2015 lalu. Pementasan yang dilaksanakan di Stage Tari Tedjokusumo Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta tersebut membuahkan hasil yang cukup memuaskan, baik untuk penonton maupun keluarga besar Keluarga Rapat Sebuah Teater sendiri.

wefie. teater kekinian :D

diskusi terbuka pasca pentas
Sedikit mengulas tentang proses dibalik pementasan “Keluarga Bahagia”, tentu saja yang paling menarik perhatian adalah kesediaan aktor untuk memerankan dan mempertunjukkan isi naskah yang dianggap cukup “vulgar” untuk dihadirkan keatas panggung. Proses seleksi pemain tidak berlangsung mudah, tetapi konsep yang ditawarkan oleh Iqbal akhirnya mampu meyakinkan ke-6 aktor untuk kemudian lanjut memainkan peran yang ditawarkan. Awal berjalannya proses cukup berat. Tidak dipungkiri pula bahkan beberapa panitia penyelenggara sedikit meragukan isi naskah tersebut. Tapi proses tidaklah bermakna tanpa kerikil-kerikil didalamnya. Keberhasilan akan terasa begitu manis ketika berhasil melewati kerikil-kerikil itu. Hal itu pula yang dirasakan oleh KRST, terutama tim “Keluarga Bahagia”.

latihan di G400

evaluasi pasca gladi bersih

credits pasca pentas (dok. BPPM Psikomedia)
Proses ini berlangsung kurang lebih 6 bulan, terhitung sejak November 2014. Seluruh kerja keras tim produksi dan artistik tentunya memberikan pengaruh sangat besar dalam keberhasilan pentas besar ke-9 KRST tersebut. Kurang lebih 50 orang yang turut menuangkan tenaga, pikiran, dan semangatnya kedalam proses ini. KRST juga bekerja sama dengan Teater Sangkala, selaku tuan rumah Fakultas Bahasa dan Seni UNY, Sanggar 28 Terkam, ISI Yogyakarta, dan beberapa komunitas kampus serta kerabat KRST. Hal menarik lainnya juga tertuju pada kreativitas yang tertuang pada setting rumah yang dihadirkan oleh sutradara diatas panggung. Begitu realis, begitu meyakinkan, seolah-olah membawa penonton kedalam kehidupan keluarga yang ada dipanggung itu. Detail-detail menarik seperti lukisan, patung kepala, hingga benda kuno seperti gramofon juga tak luput dari perhatian. Pentas ini terbilang berani dan sukses. Mengangkat realitas yang dianggap tabu keatas panggung dan memberikan suguhan yang benar-benar nyata tanpa adanya keraguan sedikitpun, jelas menjadi sebuah prestasi tersendiri bagi sutradara. Bagi Iqbal selaku Sutradara, naskah “Keluarga Bahagia” ini memiliki begitu banyak makna yang harus disampaikan dan dirasakan, baik untuk semua penonton dan juga dirinya sendiri.

Namun, tentu saja setiap perjalanan menemukan pelajaran. Begitu banyak hal yang dapat diambil dan diperbaiki dalam proses kali ini. Banyak pula nilai-nilai yang bisa ditegakkan yang telah dihadirkan oleh pementasan ini. Semoga saja apapun itu yang telah dihadirkan dan dipersembahkan oleh KRST, dapat menjadi kebaikan tersendiri, yang kemudian hari bisa berbalik dan menyempurnakan diri KRST.


Teruslah belajar, teruslah berusaha, teruslah berkarya. Salam budaya! SHOW MUST GO ON!

(Eka Anggraini, 2015)


Rabu, 11 Maret 2015

Ingatlah, ketika hujan..

Selamat semuanya!
Selamat atas tahun baru yang indah. 
Selamat atas setiap pertemuan, setiap perpisahan. Dan selamat atas hujan yang terus mengguyur bumi untuk kembali ditanami.

Aku yakin bumi berbahagia.
Seperti kita yang berbahagia atas kesempatan menggembur diri bersama hujan. 
Kita yang terus melembutkan diri agar sanggup digali lebih dalam sekaligus menguatkan diri agar mampu menopang bibit yang sedang tumbuh dalam diri kita.

Ketika suatu hari kau kelelahan karna hantaman demi hantaman menghujam tanpa ampun, tersenyumlah karna lelahmu adalah perjuangan.
Pahamilah bahwa setiap layu dalam tatap adalah keindahan. 
Setiap dentum di telinga adalah sebuah pelajaran. 
Setiap deras dalam tubuh adalah sebuah kesempatan.

Kesempatan untuk menunjukkan apa yang selama ini ada dalam imaji. 
Memperdengarkan apa yang terus kita lagukan dalam pikiran. 
Mengutarakan kalimat yang tidak siap terucap. 
Menarikan syair yang kita buat bersama hari-hari yang kita lalui. 
Merasakan indahnya pelangi setelah badai pergi.

Yakinlah bahwa hujan akan membawa kita berlayar jauh. 
Tambatkan hatimu pada nikmatnya udara yang memutihkan nafas, sekaligus menggemakan gemeletuk seolah haus bergerak. 
Berirama.
Bantu hujan merasuki diri kita, meletupkan wangi petrichor yang dicintai setiap manusia penikmat aroma.

Dan aku,
terus menemanimu menerima setiap titik sebagai apapun yang kau butuhkan.
Hingga hantaman hujan menjelma menjadi rintik, 
lalu menguap bersama angin yang menghantarkan kita pada pelangi yang dirindu-rindukan, 
sebelum datang hujan berikutnya.

Penuh cinta,
Monica Indriyani
Kepala Keluarga

Kamis, 26 Februari 2015

Memandang Definisi 'Film yang Bagus'


Salah satu pertanyaan yang paling sering muncul terkait sebuah film adalah "bagus nggak?" Tentu jawaban yang muncul akan beragam, tergantung sudut pandang mana yang dipakai oleh penonton. Tapi adakah pakem standar yang bisa digunakan untuk menilai suatu film secara general


Saya jawab: tidak ada. Argumen umum tentang seperti apa film bagus seringkali meliputi akting bagus, naskah kuat, sampai gambar oke. Tapi benarkah semua itu ukuran baku? Sebagai contoh, mari menuju perbandingan antara The Evil Dead (1981) dengan The Woman in Black (2012). Secara teknis termasuk sinematografi, film kedua jauh lebih unggul. Secara cerita pun lebih berbobot karena hadirnya latar belakang karakter dan sebagainya. Teknik makeup pun sama, karena film pertama punya riasan murah yang sangat buruk. Belum lagi bicara akting. Daniel Radcliffe jelas jauh di atas Bruce Campbell yang overacting. Tapi disaat The Evil Dead dianggap sebagai salah satu film horror terbaik sepanjang masa, kenapa The Woman in Black justru direspon biasa saja?